Sabtu, 30 April 2016

Perpajakan Internasional

Latar Belakang
Perpajakan Internasional merupakan alat untuk mengetahui perbedaan pajak dalam negeri dan memajukan perdagangan antar negara, mendorong laju investasi di masing-masing negara, pemerintah berusaha untuk meminimalkan pajak yang menghambat perdagangan dan investasi tersebut. Adalah merupakan suatu tujuan ekonomi dalam negara untuk memajukan perdagangan di tiap dan antar negara serta  mendorong laju investasi. Dan setiap pemerintah suatu negara  berusaha untuk meminimalkan pajak yang menghambat perdagangan investasi dimana salah satunya adalah dengan melakukan penghindaran pajak berganda. Sehingga yang melatar belakangi suatu pajak internasional dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.      Indonesia adalah bagian dari dunia Internasional; dalam era globalisasi Indonesia perlu menjalin hubungan dengan negara lain, mengadakan transaksi-transaksi lintas batas yang saling menguntungkan dan mengizinkan entitas asing untuk melakukan kegiatan ekonomi dan memperoleh penghasilan di Indonesia.
2.      Penghasilan entitas asing di dalam negeri bisa menjadi sumber pendapatan pajak bagi Indonesia; Menurut benefit theory of taxation, pemajakan ini bisa dilakukan karena terdapat hubungan (economic attachment) antara Indonesia sebagai negara sumber (Source State)dengan aktivitas yang memberikan penghasilan tersebut.
3.      Penghasilan entitas asing di Indonesia bisa menjadi sumber pendapatan perpajakan bagi negara domisili entitas asing  tersebut; negara yang menjadi domisili entitas asing (residence state) juga berhak atas pajak penghasilan yang bersumber dari luar negaranya karena terdapat keterkaitan antara negara negara dengan subjek pajak dalam negerinya (personal attachment).
4.      Maka diperlukan adanya perjanjian perpajakan internasional yang mengatur pemajakan penghasilan entitas asing didalam negeri dan penghasilan entitas dalam negeri dari luar negeri; Yang bertujuan adalah untuk menghindari terjadinya pemajakan berganda yang memberatkan wajib pajak masing-masing negara.
Sehingga berbicara perpajakan internasional adalah  berbicara suatu permasalahan yang rumit dan complicated karena mencakup hak pemajakan (taxing right) suatu negara. Karena masing-masing negara sangat berkepentingan terhadap kebijakan perpajakan internasional yang baik yang dipilih oleh PBB maupun OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development). Hal ini disebabkan karena dalam menyusun Perjanjian Penghindaraan Pajak Berganda (Tax Treaty), maupun kebijakan Perpajakan Internasional dalam UU Domestik, ada 2 (dua) ‘kiblat’ yaitu :
1.      United Nations (UN) Model
2.      OECD Model
Pengertian
Pajak internasional adalah hukum pajak nasional yang terdiri atas kaedah, baik berupa kaedah-kaedah nasioal maupun kaedah yang berasal dari traktat antarnegara dan dari prinsip yang telah diterima baik oleh Negara-negara di dunia, untuk mengatur soal-soal perpajakan dan dapat ditunjukkan adanya unsur-unsur asing, baik mengenai subjek maupun mengenai objeknya.
Setiap Negara memiliki peraturan perundang-undangan perpajakan nasional sendiri-sendiri atau yang disebut dengan yurisdiksi nasional, yang masing-masing peraturan perundang-undangan dimaksud memiliki landasan dan filosofi hukum yang berbeda dengan Negara-negara lainnya.
Dalam rangka melakukan investasi di Negara lain maupun dalam rangka suatu Negara menerima investasi dari Negara lain pasti akan terjadi beberapa konflik kepentingan. Sebagai contoh, Indonesia menganut konsep pengakuan penghasilan, yaitu konsep tambahan kemampuan ekonomis atau juga disebut world wide income. Artinya peraturan perundang-undangan pajak penghasilan tidak mempermasalahkan darimana datangnya penghasilan, bagaimana penghasilan tersebut diterima atau diperoleh, dan dalam bentuk apa penghasilan tersebut.
Semua adalah objek pajak penghasilan yang harus dikenakan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak Indonesia, baik Wajib Pajak orang pribadi, badan, maupun Bentuk Usaha Tetap. Sehingga ada kemungkinan terjadi benturan (konflik) dalam pengenaan pajak dengan Negara lainyang menganut asas pemajakan berbeda dengan Indonesia, nisalnya Negara yang menganut asas pemajakan kebangsaan (kewarganegaraan). Negara yang menganut asas kebangsaan tidak mempermasalahkan dari mana penghasilan diterima atau diperoleh, seseorang tetap diwajibkan membayar pajak di Negara di mana dia berkebangsaan.
RUANG LINGKUP PERPAJAKAN INTERNASIONAL
Untuk memudahkan dalam pemahaman tentang pajak internasional khususnya  ditinjau dari Subjek dan Objek Pajak, maka  dapat dikategorikan menjadi 2 (dua) pandangan yaitu :
1.      Taxing Inbound Income ; Pemajakan atas Subjek Pajak Dalam Negeri (SPDN) yang memperoleh penghasilan yang bersumber dari luar negeri.
2.      Taxing Outbound Income ; Pemajakan atas Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN) yang memperoleh penghasilan yang bersumber dari dalam negeri.
Kita mengetahui bahwa negara memiliki kedaulatan untuk mengenakan pajak terhadap setiap penghasilan setiap individu dan terdapat “connecting factors” antara Negara dengan suatu transaksi/peristiwa ekonomi yang menimbulkan penghasilan. Dalam Undang- Undang pajak menerapkan dua prinsip berdasarkan “connecting factors” tersebut yaitu :
1.      Residence Principle (Azas Residensi), Hak Negara mengenakan pajak kepada seseorang (individu atau badan) karena terdapat “personal attachment”, seperti: residensi, domisili, kewarganegaraan, tempat pendirian, tempat kedudukan manajemen. (Worldwide Income).
2.      Source Principle (Azas Sumber), Hak Negara mengenakan pajak kepada seseorang (individu atau badan) karena terdapat“economic attachment” yaitu penghasilan yang bersumber di Negara tersebut.
Beberapa prinsip dalam perpajakan internasional yang salah satunya dikemukakan oleh Doernberg (1989) menyebut 3 unsur netralitas yang harus dipenuhi dalam kebijakan perpajakan internasional, yaitu :
1.      Capital Export Neutrality (Netralitas Pasar Domestik): Kemanapun kita berinvestasi, beban pajak yang dibayar haruslah sama. Sehingga tidak ada bedanya bila kita berinvestasi di dalam atau luar negeri. Maka jangan sampai bila berinvestasi di luar negeri, beban pajaknya lebih besar karena menanggung pajak dari dua negara. Hal ini akan melandasi UU PPh Pasal 24 yang mengatur kredit pajak luar negeri.
2.      Capital Import Neutrality (Netralitas Pasar Internasional): Darimana pun investasi berasal, dikenakan pajak yang sama. Sehingga baik investor dari dalam negeri atau luar negeri akan dikenakan tarif pajak yang sama bila berinvestasi di suatu negara. Hal ini melandasi hak pemajakan yang sama dengan Wajib Pajak Dalam Negeri (WPDN) terhadap permanent establishment (PE) atau Badan Uasah Tetap (BUT) yang dapat berupa cabang perusahaan ataupun kegiatan jasa yang melewati time-test dari peraturan yang berlaku.
3.      National Neutrality: Setiap negara, mempunyai bagian pajak atas penghasilan yang sama. Sehingga bila ada pajak luar negeri yang tidak bisa dikreditkan boleh dikurangkan sebagai biaya pengurang laba.
Beberapa Permasalahan Dalam Perpajakan Internasional
1.      Transfer Pricing: Kegiatan ini adalah mentransfer laba dari dalam negeri ke perusahaan dengan hubungan istimewa di negara lain yang tarif pajaknya lebih rendah. Hal ini dapat dilakukan dengan membayar harga penjualan yang lebih rendah dari harga pasar, membiayakan biaya-biaya lebih besar daripada harga yang wajar, thin capitalization (memperbesar utang dengan beban bunga untuk mengurangi laba). Misalnya: tarif pajak di Indonesia 28%, di Singapura 25%. PT A punya anak perusahaan B Ltd di Singapura, maka laba di PT A dapat digeser ke B Ltd yang tarifnya lbh kecil dengan cara B LTd meminjamkan uang dengan bunga yang besar, sehingga laba PT A berkurang, memang pendapatan B Ltd bertambah namun tarif pajaknya lebih kecil. Hal bisa juga dilakukan dengan PT A menjual rugi (mark down) barang dan jasa (harga jual di bawah ongkos produksinya) ke B Ltd. Di Indonesia, transfer pricingdicegah dalam UU PPh pasal 18 dimana pihak fiskus berhak mengkoreksi harga transaksi, penghitungan utang sebagai modal dan DER (Debt Equity Ratio).
2.      Reaty Shopping: Fasilitas di tax treaty justru bukannya menghindarkan pajak berganda namun malah memberi kesempatan bagi subjek pajak untuk tidak dikenakan pajak dimana-mana. Misalnya: Investasi SBI di bursa singapura dibebaskan pajak. Treaty Shopping diredam dengan ketentuan beneficial owner (penerima manfaat) dalam tax treaty (P3B) baik yang memakai model OECD maupun PBB sehingga tax treaty hanya berlaku bila penerima manfaat yang sebenarnya adalah residen di negara yang menandatangani tax treaty.

3.      Tax Heaven Countries: Negara-negara yang memberikan keringanan pajak secara agresif seperti tarif pajak rendah, pengawasan pajak longgar telah membuat penerimaan pajak dari negara-negara berkembang merosot tajam. Negara tax heaven yang termasuk dalam KMK No.650/KMK04/1994 antara lain Argentina, Bahrain, Saudi Arabia, Mauritius, Hongkong, Caymand Island, dll. Saat ini negara tax heaven sedang dimusuhi dunia internasional, pengawasan tax avoidance (penghindaran pajak) di negara-negara tersebut sedang gencar-gencarnya. Berinvestasi di negara tax heaven beresiko besar terkena koreksi UU PPh Pasal 18.  Lebih baik berinvestasi pada negara dengan tax treaty

3 komentar: